Minggu, 15 Juni 2014

Deadline Seorang Wanita

Seperti yang sudah saya ceritakan kemarin, saya sudah melewati seperempat abad perjalanan hidup saya yang penuh liku *aiiihhh bahasanya. Saya menikmati semua yang saya lalui, baik itu suka atau duka, yaiyalah masak nggak dinikmati sih, hidup kan terus berjalan kedepan, jadi nggak mungkin kita balik lagi kemasa lalu buat memperbaiki itu (kecuali kamu punya kantong ajaib doraemon dan mengeluarkan mesin waktu). Dan dari situ saya yang awalnya seorang anak kecil berjenis kelamin perempuan, lalu menjelma clllliiiinnngggg jadi seorang wanita *matabelo. Dan ternyata ohhh ternyata menjadi seorang wanita tidaklah mudah, saya tidak bisa lagi seenak udel saya untuk melakukan apapun itu. Saya nggak bisa lagi glesotan kalo lagi ngambek, saya nggak bisa lagi nangis sekonyong-konyong kalo nggak dibeliin sesuatu sama ibu saya, saya nggak bisa ngupil sembarangan (iihh ternyata saya jorok bingiiit :D), saya nggak bisa makan dengan seenaknya tanpa melihat kiri-kanan (ini sebenernya mau makan apa mau nyebrang sih?) yaa itulah maksudnya, dengan kata lain saya harus lebih beretika daripada ketika saya belum bertambah tua. Pasti beberapa orang akan mengatakan "kalo kamu nggak suka ngelakuin itu yaudah jadi diri sendiri aja kenapa? susah amat kayaknya". Nah ituu masalahnya, saya pengen lebih beretika tapi tetap menjadi diri saya sendiri, susaaahhh sih tapi saya berfikir itu untuk kebaikan saya. Saya nggak mau cuman nambah umur aja tapi enggak nambah dewasa. Saya pengen kedua hal itu bisa seiring sejalan, saya nggak mau rugi cuman dapet tuanya aja, tapi pikiran saya masih kayak anak kecil, rugii banget dong saya. 
Dannn daaann daaann lagi menjadi wanita  yang sudah dewasa (dalam segi umur) itu ada konsekuensinya, saya mau nggak mau sudah harus memikirkan untuk menjalin hubungan kejenjang yang lebih serius (bukan berarti saya pacaran nggak serius ya) maksud saya jenjang yang lebih tinggi yaitu pernikahan. Dan saya merasa belum siap untuk itu, saya merasa takuutt, bahkan sangaaaaaattt takut, saya takut kalau saya tidak bisa jadi istri yang baik, saya takut kalau suami saya merasa saya kurang ini atau kurang itu, saya takut apakah nantinya saya bisa menjadi ibu yang baik untuk anak saya, saya takut kalau anak saya nantinya tidak tumbuh dengan baik karena saya kurang baik dalam membesarkannya. Jauh dilubuk hati saya, saya tentu ingin menikah, punya anak, membesarkan anak, melihat anak saya menjadi dewasa, menikah dan punya cucu. Tapi ketakutan-ketakutan tadi selalu membayangi setiap angan saya, dan saya merasa ketakutan itu lebih besar daripada keinginan saya. Saya sering berfikir, aaahhh saya nyaman kok dengan keadaan sekarang, saya belum ingin buru-buru menikah, tapi ketika melihat teman-teman saya udah pada nikah trus punya anak, kok sisi wanita saya mengatakan "saya pengen cepetan nikah trus punya anak yang lucu", tapi ohh tetapi sisi lain saya juga mengatakan "saya merasa belum mampu untuk berjalan kearah itu". Menikah bukan cuma persoalan saya cinta kamu dan kamu cinta saya lalu hidup bersama, tapi lebih bagaimana menjaga perbedaan 2 orang yang berbeda jenis kelamin supaya dapat saling mengisi dan berjalan beriringan supaya bisa saling menguatkan dan saling menopang. Menikah bukan seperti mau beli baju, kita suka model, warna, bahan dan harganya lalu kita beli bawa pulang dipakai. Menikah terlalu rumit untuk dijabarkan, menikah begitu rumit bagi otak saya yang kecil.
Dan dari ketidaksiapan saya itu, ibu saya yang saya cintai mengatakan, "emange koe durung pengen nikah?" dan lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum, tidak mampu menjawab. Dan ibu saya berkata lagi "nek iso mbok taun ngarep koe wes nikah", dan saya seperti dipukul palu *ppppoooonnngggg saya sadar, umur saya sudah 25 dan saya kembali bingung, ragu dan takut. Apakah saya mampu nantinya menjadi istri dan ibu yang baik?

Selasa, 10 Juni 2014

Dan Ternyata Sudah Seperempat Abad

Omigoooodddd..... nggak kerasa ya, seperempat abad hidup saya sudah terlewati. Terasa begitu cepat, menyenangkan, mengharukan, menyedihkan, menyakitkan, membuat tersenyum, membuat menangis, membuat marah, dan semua perasaan yang sewajarnya manusia rasakan, syukurlah saya alami juga. 

Bukan waktu waktu yang singkat untuk dilalui, sepertinya baru kemarin saya mengingat saya masih duduk di taman kanak-kanak, memakai baju daerah ketika ada perayaan hari kartini, membawa peralatan makan setiap hari senin karena ada pembagian bubur kacang hijau gratis, dan menjadi hari yang selalu saya tunggu waktu TK (*ketauan dari kecil sukanya gratisan, hahaha). Lalu masih ingat saya duduk di bangku SD, harus pindah sekolah karena bapak saya harus pindah tugas dari desa kecil bernama Sambek di Wonosobo ke Sragen, masih sama-sama jawa tengah namun sudah berbeda kebiasaan, membuat saya agak sulit beradaptasi dengan perbedaan bahasa daerahnya :D . Lalu dari hasil numpang di tempat sodara, bapak saya lagi-lagi pindah tugas walau masih di daerah Sragen namun ini lebih mlosok lagi, tepatnya di Gondang. Well, saya harus beradaptasi lagi, tapi enggak semenyedihkan waktu pertama kali. Lalu dari Gondang sekitar 5-6 tahun disana saya ikut pindah lagi sekarang di daerah karangmalang, syukurlah yang sekarang ditempati adalah rumah sendiri, hasil nabung bertahun-tahun orang tua saya (terima kasih banyak bapak, ibu). Sepertinya baru kemarin saya lulus SMA, masuk kuliah, memulai kuliah, aaahhhh... ingin semua kembali terulang, kangen rasanya masa-masa ketika saya masih tidak terlalu memikirkan harus jadi apa, harus seperti apa dan harus bagaimana. 

Namun semua itu bagi saya sebuah perjalanan yang sangat panjang, membuat saya mengharuskan menengok kebelakang supaya saya lebih bijak dalam bersikap kemudian hari, membuat saya harus membuat catatan-catatan kecil kehidupan saya supaya saya lebih dewasa dalam menghadapi semuanya. Walau dalam hati kecil saya, saya masih ingin menjadi anak kecil bapak dan ibu saya. Walau dalam hati kecil saya, saya masih ingin berada dalam pelukan dan pangkuan mereka saat saya menangis. Walau dalam hati kecil saya, saya masih ingin melakukan tingkah laku kekanakan saya tanpa harus diberi stempel kekanak-kanakan. Tapi ternyata masa itu begitu cepat berlalu, saya sudah tidak bisa menangis untuk hal-hal sepele, saya sudah tidak bisa merengek ketika meminta sesuatu, saya sudah tidak bisa seenaknya lagi dalam bertindak. Saya diharuskan lebih dewasa dalam bersikap, berpikir dan bertindak.

Semoga saya bisa menjadi seperti itu, supaya bapak disana bangga menjadi bapak dari seorang Dani, dan ibu saya bisa tersenyum karena telah melahirkan seorang anak bernama Dani yang mampu membuat hari tuanya nanti lebih berwarna, amin.